Butuhkah Dalil untuk Penghijrah?

Teuku Muhammad Al Kautsar
4 min readDec 12, 2021

Turut senang berbahagia beberapa tahun terakhir gelombang hijrah bertumbuh di kalangan anak muda, mulai dari artis, para mahasiswa, para influencer.

sumber Photo by Utsman Media on Unsplash

Tumbuhnya para Muhibbin baru, yang mana background mereka bukan santri, mereka menyadari bahwa dalam kehidupan butuh spiritualitas, serta mencintai segala keindahan tentang Islam.

Jika ada, mereka mempelajari Islam mungkin saat SD dulu. Pagi hari belajar di sekolah, sore hari anak-anak tersebut berangkat ke Surau, Balai, Madrasah dan sebagainya. Belajar AlQuran dan sedikit tentang Ilmu keislaman. Itu pun jika lingkungannya ada.

Selebihnya, seiring bertambah usia, kesibukan pencapaian fana telah membuat para penghijrah ini mengabaikan aspek agama dan spiritualitas. Hingga Alhamdulillah, Allah yang menyadarkan dan menghidayahi kembali merasa butuh ilmu agama.

Kenapa saya menyebutnya Muhibbin… Nabi SAW pernah berkata yang artinya,

"Jadilah orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan (orang alim yang menjelaskan ilmunya), atau orang yang mencintai (ilmu); Janganlah menjadi orang kelima, maka kamu akan celaka."

(HR. Baihaqi)

Hadist ini seolah membagi level manusia berdasarkan perannya terhadap ilmu. Yang tertinggi adalah orang berilmu, yaitu ulama, pengajar, guru. Dan level terendah adalah orang yang hanya mencintai ilmu.

Sehingga mereka yang baru hijrah, senang dengan Islam, belum tentu menguasai ilmu tersebut. Tapi hatinya pasti mencintai apa yang dimiliki gurunya, ilmu.

Sedihnya, saat mereka beramal dan terjun ke masyarakat, atau kegiatannya viral di sosial media. Ada saja yang bertanya, "Ente beramal demikian, mana dalilnya."

Ayolah bro.. mereka ini baru belajar. Baru kembali ke jalan Allah dan Rasul-Nya. sudah itu ente tanya dalil.

Keadaan ini persis seperti orang yang mengindap satu penyakit. Lalu dokter mendiagnosa penyakitnya, Dan memberi resep obat.

Pulang dari apotik, jumpa temen. Si temen ini menganggap dunia medis dipenuhi konspirasi bisnis dan politik. Sehingga dia lebih mengkonsumsi resep tabib kampung dan herbal.

Lihat resep dan tanya.. "Ente minum obat sebanyak itu, bisa sembuh? Sayangi ginjal dan lambungmu!!”

“Insyaallah nggak apa-apa. Mudah-mudahan bisa sembuh. Ane taati dulu pesan dokter”

“Ente kok yakin banget sama mereka… Dunia medis sekarang adalah ladang bisnis terbaik. Obat dan layanan yang kamu dapatkan, sebagai ajang balik modal mereka.”

Kira-kira menanggapi orang seperti itu gimana ya!

Karena Meyakini kesembuhan dari Allah satu perkara wajib, ikhtiar mencari sebab penyembuhan adalah perkara yang mesti dituntut.

Meyakini ramuan tanaman dan herbal, Allah jadikan sebagai sebab penyembuh boleh-boleh saja. Namun merendahkan kedisplinan ilmu seperti kedokteran, adalah sebuah masalah.

Ternyata si temen ini, lulusan antropologi, nggak paham juga ilmu medis. Cuma dengar dari orang lain.

Terkhusus para muhibbin, menurut ane yang faqir ilmu.. Guru tempat kita belajar. Sudah cukup sebagai dalil. Karena gurunya sudah meracik perihal apa saja yang layak diajarkan untuk sang muhibbin ini.

"Ane dibilang sama guru begitu." Ketika sang muhibbin ini berkata demikian, rasanya itu sebagai dalil sudah cukup. Khusus untuk level Muhibbin ya.

Contohnya ustad yang masyhur saat ini yang melengkapi dalil dalam kajiannya, Ustad Abdul Somad, Ustad Adi Hidayat.

Saat beliau menyampaikan materi, yang wajib dibawa pulang oleh para jamaah, apakah hukum/kesimpulan dari satu masalah, atau rentetan dalil yang beliau utarakan beserta sanadnya?

Tentu jamaah lebih mudah mendapatkan poin atau hukum, halal atau haram, memberi manfaat atau mudharat. Sehingga lebih cepat dan tepat dalam bersikap saat menghadapi satu masalah.

‘Ente kok ngamalin beginian, mana dalilnya?’

‘Ustad Abdul Somad kok yang bilang begitu.’ Pendapat seorang guru yang memahami dalil adalah dalil.

Maka perlu untuk mengembalikan sebuah kedisplinan ilmu sesuai penghujung surat AnNahl 43, “fas`alu ahla adz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun.”

Artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang ahli (berpengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.”

Gurunya Imam AsSyafi’i, Imam Sufyan bin Unaiyah, berpesan…

الحديث مضلة إلا الفقهاء

“Hadist itu menyesatkan kecuali untuk fuqaha (ahli Fiqh).”

Syeikh Ibnu Hajar Al Haitami menjelaskan bahwa ahli fiqh lebih baik dan lebih jelas dalam memahami metodologi penggalian hukum (Istimbathul ahkam) dari suatu hadist. Sehingga hukum yang didapatkan mudah diterapkan.

Para alim ulama dan guru paham, Tugasnya adalah membimbing dan mendampingi para muhibbin untuk menyelesaikan fardhu ain, menanam rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menyelesaikan masalah mereka masing-masing melalui sudut pandang agama.

Syukur-syukur para guru ini bisa membuat muhibbin menjadi Mustami’an (pendengar dan menyimak) hingga santri, dekat dengan para guru alim ulama itu sudah lebih dari cukup.

Misi para guru alim ulama, adalah Surat Az-Zariat 56, yaitu mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah, dalam cakupan yang luas.

Jika memang ada potensi Muhibbin menjadi ulama, para guru ini biasanya mempersiapkan dan mengarahkan jalan yang harus ditempuh. Serta kepada siapa selanjutnya mereka harus berguru.

Jadi.. yang Hijrah butuh dalil, tidak?

Menurut ane, mereka butuhnya guru.

Jazakallahu khairan

--

--

Teuku Muhammad Al Kautsar

Storyteller, Stoicism, Algazelian | Arabic learner and currently in Hadramout, Yemen | Get weekly Newsletter in Bahasa Indonesia > https://bit.ly/3wopGgh